Monday, February 12, 2018

√ Duit

Tags

Duit

Ini kasus duit. Teryata duit dari zaman dahulu kala selalu bikin jadi perkara.

19 December 2012

 Teryata duit dari zaman dahulu kala selalu bikin jadi kasus √ Duit
SEMUA orang di negeri ini tahu jikalau memberantas korupsi itu lebih sulit daripada memberantas ketombe. Itu sebabnya Indonesia butuh lebih dari sekadar sampo anti-ketombe. Memerangi korupsi sudah dilakukan semenjak awal republik ini berdiri. Beragam lembaga telah didirikan, aneka macam cara telah dilakukan, tapi rupanya korupsi bukan lagi wabah yang bisa dibasmi begitu saja.
Prilaku koruptif menyerupai telah bermimikri jadi gaya hidup. Celakanya lagi, mengutip Bung Hatta pada 1970-an ketika mega korupsi Pertamina terjadi, “Korupsi telah jadi budaya,” katanya. Mungkin kecenderungan yang sama sudah diendus lebih dulu oleh antropolog Professor Koentjaraningrat yang menulis bahwa orang Indonesia itu punya “mentalitas menerabas”, berani melanggar aturan demi cepat hingga tujuan. Cepat kaya salah satunya.
Di zaman yang serba bayar ini (bahkan kencing dan berak pun bayar), menyerupai tak ada solusi lain untuk bikin hidup damai kecuali punya duit. Ujung-ujungnya urusan duit. Jangan-jangan, kita harus memikirkan lagi penggambaran masyarakat Indonesia di masa kemudian yang gemar gotong-royong, pundak membahu membantu sesama tanpa pamrih.
Apakah masyarakat kini sudah beralih menjadi masyarakat pasar, yang segala tindak-tanduknya berangkat dari perhitungan untung rugi? Nun di Amerika sana, di negeri di mana paham kapitalisme berkembang biak dan beranak-pinak, Michael Sandel, seorang professor dari Harvard University mencemaskan keadaan itu. Dalam bukunya, What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets, Sandel mengkhawatirkan jikalau ekonomi pasar, yang sejatinya sebuah alat yang berkhasiat dan efektif untuk mengatur acara produksi, telah teradopsi dan bersalin rupa jadi “masyarakat pasar”, di mana korelasi sosial dipengaruhi oleh nilai-nilai dan prosedur pasar.
“Apa yang uang tak bisa beli? Sekarang tak banyak lagi,” kata Sandel. Duit memang bukan segalanya, tapi kini segala-galanya butuh duit. Pragmatisme yang kian merebak dan mewabah. Seakan nilai-nilai luhur dan moralitas tergerus oleh kalkulasi “wani piro?”, berani membela yang bayar, yang benar tak selalu harus dibela.
Sandel cemas terhadap segala hal yang ditaksir dan dibanderol harga. Bahkan kini di Amerika, kata Sandel, orang tak perlu antre untuk bisa sanggup tiket bioskop atau pementasan teater. Orang juga tak perlu repot antre di rumah sakit untuk pelayanan kesehatan. Bila sanggup membayar lebih, pasien bisa potong antrean. Tak perlu tiba pertama untuk sanggup pelayanan lebih cepat, lantaran yang diharapkan ialah seberapa tebal isi kocek Anda untuk dilayani lebih dulu. Orang miskin dihentikan sakit apalagi nonton bioskop.
Ternyata problem Undang-Undang Dasar alias Ujung-Ujungnya Duit sudah merambah kemana-mana. Begitu pula naga-naganya di negeri ini. Money politic, politik uang, saking seringnya terjadi, sudah dianggap biasa. Saben ada hajat demokrasi, pemilu dan pemilukada, duit disawer, berharap rakyat bisa digiring memilih pilihan menurut kemauan si penyawer. Kaprikornus anggota DPR/DPRD pun butuh modal besar. Pada pada dasarnya berpolitik zaman kini hampir dipastikan tidak mungkin jikalau tanpa duit. Dan sehabis terpilih, jangan abnormal jikalau yang dibicarakan pun tak jauh-jauh soal duit.
Bukan hanya di arena politik, duit pun bicara di wilayah pendidikan. Tengok saja di kota-kota besar, sekolah-sekolah berkualitas tersedia bagi Anda yang punya kuantitas duit berlebih. Untuk diterima di universitas negeri ternama pun, jikalau ada duit, final perkara. Kalau zaman kolonial di Hindia Belanda, sekolah bermutu tersedia bagi kalangan Eropa dan sebagian kecil elit priayi pribumi, maka kini sekolah bermutu tersedia bagi orang-orang yang berduit.
Sudah jadi belakang layar umum jikalau masuk jadi pegawai negeri bisa pakai duit untuk pelicin. Praktik korupsi merebak di kalangan pemerintahan, dilakukan dengan bermacam cara dan modus (sejak 2004 ada 176 lebih masalah korupsi yang dilakukan kepala daerah). Ketua KPK Abraham Samad menyampaikan bahwa negeri ini kekurangan pejabat yang mau hidup sederhana. Hidup sederhana di zaman menyerupai ini ialah sebuah kemewahan. Perlu nyali besar untuk hidup sederhana di tengah gempuran hal-hal yang serba bercorak pasar, serba beraroma duit, menyerupai yang digambarkan oleh Sandel dalam bukunya.
Zaman sekarang, jangan banyak berharap ditemukan pemimpin sebersahaja Bung Hatta yang membeli sepatu brand Bally pun tak mampu. Atau pemimpin sekaliber Johannes Leimena yang hanya punya dua potong kemeja sebagaimana juga Mohammad Natsir yang mengenakan kemeja tambalan dikala menjabat perdana menteri. Apalagi gaya hidup sederhana itu ditunjang oleh kinerja yang baik dan pengabdian sepenuh hati untuk negeri.


Sumber http://penulissnazzily.blogspot.com


EmoticonEmoticon