Antara Perempuan dan PolitikSupeni menolak pemisahan wanita dari partai politik. Kritiknya tak asal bunyi, ia jadi tokoh penting dalam PNI. Supeni kala menemani Sukarno menyambut Putri Michiko dari Jepang. Sumber: Supeni Wanita Utusan Negara. PROKLAMASI mengubah konfigurasi politik. Ketiadaan musuh bersama menciptakan lelaki menjadi makin mayoritas dalam bidang politik sementara wanita disingkirkan dan dianggap lebih layak bergerak di bidang sosial. Organisasi wanita yang bercorak keagamaan, misalnya, kebanyakan berjalan dengan pembagian kerja model ini. Kecenderungan menyerupai itu dikritik para pencetus perempuan, salah satunya Supeni. Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Supeni menolak keras pemisahan wanita dan partai politik. Menurutnya, wanita harusnya dianggap setara dan disamakan statusnya dengan lelaki untuk ikut andil dalam urusan-urusan politik. Pendapat Supeni tak asal bunyi. Di tengah kecamuk Perang Kemerdekaan dan kesibukan mengatur organisasi perempuan, pada 1946 Supeni mendaftarkan diri ke PNI. Posisinya di PNI dan gerakan wanita pun tak sepele. Supeni menjabat ketua Kowani pada 1948 di mana Maria Ullfah duduk sebagai wakilnya. Pada 1949, Supeni diangkat menjadi anggota dewan partai PNI. “Partailah yang sanggup mendidik dan memimpin rakyat menuju transformasi masyarakat dari dijajah menjadi merdeka,” kata Supeni dalam memoarnya Supeni Wanita Utusan Negara. Sejak remaja, Supeni sudah aktif dalam gerakan. Di usia 14 tahun, Supeni sudah melahap bermacam bacaan politik dan ikut mendengarkan ceramah politik. Ia kemudian menjabat sebagai wakil ketua Indonesia Muda merangkap Keputrian Indonesia Muda cabang Blitar. Posisi itu mengharuskan Supeni menjadi pembicara di forum-forum cowok nasionalis. Keaktifan Supeni dalam gerakan cowok nasionalis ini mengakibatkannya dinas intelijen politik kolonial, PID, dan menjadi sorotan guru-gurunya di Holandsche Indische Kweekschool Blitar. Supeni ingat perkataan gurunya bahwa ia tak pantas menjadi guru sebab membahayakan pendidikan. “Di kota Blitar saya berkenalan dengan Supeni. Seorang gadis lincah pencetus Indonesia Muda. Nantinya ia menjadi pencetus PNI yang andal,” kata Lasmidjah Hardi, rekan seperjuangan Supeni, dalam Perjalanan Tiga Zaman. Supeni juga aktif dalam gerakan wanita dengan ikut mendirikan Persatuan Wanita Madiun usai Jepang kalah perang. Namun, organisasi ini tak bertahan usang dan dilebur menjadi Perwari lewat putusan Kongres Perempuan Indonesia 1945 di Klaten. Berbekal mengikuti organisasi semenjak dewasa itulah Supeni sanggup menjadi salah satu elite PNI. Ia terpilih menjadi ketua Departemen Pendidikan dan Sosial PNI di samping terpilih menjadi anggota Dewan Pimpinan partai pada 1959. Ketika terjadi perpecahan di badan PNI pada ahad pertama Agustus 1965, Supeni sedang dinas ke luar negeri. Sekembalinya ke Jakarta, ia menemukan kondisi partai yang penuh konflik akhir kebijakan DPP PNI menskorsing beberapa anggota yang dianggap tidak loyal. Orang-orang yang dianggap PNI gadungan berencana mendirikan PNI tandingan. Supeni, yang khawatir akan kondisi perpolitikan makin memanas, pun menemui Presiden Sukarno untuk meminta bantuan. “Saya minta kepada Bung Karno untuk memerintahkan Mas Ali (Sastroamidjojo, Ketum PNI, red.) supaya segera menyelenggarakan Kongres Luar Biasa untuk menuntaskan duduk kasus penggadungan sebab jika tidak cepat-cepat, saya khawatir Hardi CS akan mengadakan PNI tandingan,” kata Supeni. Kendati mulanya menolak sebab bukan lagi potongan dari PNI, Sukarno jadinya tak kuasa menolak ajakan Supeni. “Ya, saya akan perintahkan kepada Ali (Sastroamidjojo, red.) tapi kamu saya minta juga untuk mencegah Hardi jangan hingga menciptakan PNI tandingan,” jawab Sukarno. Supeni pun menemui Hardi untuk memberikan pesan Sukarno. Ali yang kemudian ditemui Sukarno pun jadinya setuju untuk mengadakan kongres darurat selepas ia kembali dari perjalanan dinas ke Tiongkok. Namun, belum lagi PNI sempat meredam potensi perpecahan di tubuhnya, G 30 S keburu terjadi. PNI tandingan yang dipimpin Osa Maliki pun muncul ke permukaan. Nasib PNI yang terpecah menjadi dua tak sanggup dibiarkan oleh Iskaq Tjokroadisuryo, salah satu pendiri PNI pada 1927. Dia mengajak Supeni untuk menciptakan Panitia Penegak PNI. Sayangnya, usaha ini gagal. |
Wednesday, February 14, 2018
√ Antara Wanita Dan Politik
Diterbitkan February 14, 2018
Tags
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon