Wednesday, February 14, 2018

√ Razia Homosecual Zaman Kolonial

Tags

Razia Homosecual Zaman Kolonial

Razia besar-besaran kaum homosecual. Ada motif politik di balik gerakan antihomosecual.

09 March 2019

 Ada motif politik di balik gerakan antihomosecual √ Razia Homosecual Zaman Kolonial
 Ada motif politik di balik gerakan antihomosecual √ Razia Homosecual Zaman Kolonial Biro Polisi Susila. (geronimohoorspelen.nl).
Tiga wanita ditetapkan sebagai tersangka alasannya ialah kampanye hitam. Dalam video yang viral, mereka menyebut bila Joko Widodo terpilih kembali menjadi presiden maka azan akan dihentikan dan LGBT (Lesbian, Gay, Bisecual, dan Transgender) akan dilegalkan.
Selama ini memang kelompok LGBT menerima penolakan dari banyak sekali kalangan dalam bentuk aturan yang diterbitkan pemerintah-pemerintah daerah, persekusi, pemidanaan, pembubaran acara, dan sejumlah kekerasan lainnya. Penolakan itu dengan banyak sekali alasan. Mulai soal moral, penyebab bencana, hingga keyakinan kalau kelompok LGBT telah dirasuki jin sehingga harus di-ruqyah.
Upaya menghapus kelompok LGBT dari masyarakat bukan hal gres di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda bahkan membentuk satuan khusus Polisi Susila (zedenpolitie) untuk menangkap pria-pria homosecual. Peristiwa itu dikenal sebagai Skandal Susila (zedenschandaal).
Sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, menulis antara Desember 1938 dan Mei 1939, polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria. Kebanyakan mereka ialah warga Eropa, termasuk di dalamnya pejabat tinggi. Mereka dicurigai bersalah alasannya ialah berafiliasi sec dengan anak laki-laki di bawah umur. Perbuatan itu, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, diancam pidana. Sekalipun larangan demikian sesungguhnya sudah berlaku semenjak 1918.
Dari 223 yang ditahan, 171 dinyatakan terbukti bersalah. Mereka dijatuhi hukuman. Koran-koran dengan penuh perhatian mengikuti razia kaum homosecual itu. Sebab, sebelumnya belum pernah digelar operasi besar-besaran semacam itu.
“Aksi itu dalam pemberitaan dirujuk sebagai agresi atau operasi pencucian rumah besar-besaran, pencucian akhlak, atau proses pembersihan,” tulis Marieke.
Secara formal, razia polisi memang menyasar laki-laki yang berafiliasi tubuh dengan anak laki-laki di belum dewasa (di bawah 21 tahun). Karena ini memang diatur dalam Pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana Hindia Belada). Pedofilia ialah tindak pidana. 
Namun, menurut Marieke sesungguhnya operasi ini memperlihatkan kewenangan kepada polisi untuk memberantas homosecualitas. Pasalnya, sebelum 1938 jarang orang dituntut alasannya ialah hal itu. “Kemudian sangat terang pula kalau target kepolisian umumnya ialah para homosecual, khususnya pria,” tulis Marieke.
Sebelumnya, meskipun masyarakat memandang berdasarkan norma Kristiani sebagai tidak alamiah, abnormal, dan haram, homosecualitas di Hindia Belanda dibiarkan saja. Homosecual tidak termasuk perbuatan yang diancam pidana. Persoalan moral yang didengungkan sebelum 1938 lebih menargetkan praktik prostitusi yang terkait perdagangan wanita remaja dan anak.

Baru sesudah dibuat Polisi Susila, kaum homosecual menjadi target utama. "Homosecualitas dipandang tidak hanya sebagai malu yang mencemari budpekerti mulia masyarakat, namun juga dimaknai sebagai suatu kejahatan," tulis Marieke.
Polisi Susila dibuat pula di sejumlah kota. Ia menjadi potongan dari reserse. Di Surabaya misalnya, prakarsa pembentukannya tiba dari pejabat menengah dan tinggi kepolisian yang beranggapan bahwa kesusilaan umum ialah ciri masyarakat modern.
Sejumlah dokter seorang jago juga menulis artikel terkait dengan penyimpangan sikap secual. “Sikap lemah lembut dan halus yang diasosiasikan dengan homosecual tentu saja dianggap tidak pantas bagi sarana kekerasan yang sekaligus mencitrakan wajah negara kolonial,” tulis Marieke.

Homosecual juga ternyata ada di lingkungan kepolisian. Ada empat pejabat polisi menjadi terdakwa, ditahan, dan dituntut. Tiga darinya dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. 
“Bagi kepolisian, skandal kesusilaan itu mebuka peluang untuk memperlihatkan bukan kelemahannya, namun justru kekuatan dan budpekerti mulianya. Dengan cara itu pula, kekuatan dan budpekerti mulia dari negara,” tulis Marieke.

Antihomosecual dan Politik

Skandal kesusilaan di Hindia Belanda tak bangun sendiri. Skandal serupa muncul juga di tempat lain pada 1930-an. Di Malaya-Inggris, Belanda, dan Jerman-Nazi.
“Meski dengan skala berbeda, semuanya memperlihatkan kemiripan pola,” catat Marieke.
Menurutnya, agresi perburuan homosecual muncul dalam periode ketidakpastian politik ekonomi. Ditambah lagi, masyarakat tengah terpecah oleh kontradiksi politik internal yang tajam.

Ketika sentimen antihomosecual meruak di Belanda, imbas Nazi tengah merasuk. Banyak pejabat tinggi Belanda bersimpati pada pandangan politik Nazi, termasuk soal kebencian mereka terhadap kaum homosecual. Sentimen antihomosecual itu pun terbawa ke negara jajahannya, bahkan lebih masif.
Menurut sejarawan Onghokham, kampanye itu tak sepenuhnya sanggup dilaksanakan di Belanda alasannya ialah harus berhadapan dengan problem hak asasi kelompok borjuis yang sedang tumbuh. Sementara di Hindia Belanda, para elite politik Belanda sanggup menerapkan kebijakan dan politik yang berkedok pada moralitas puritan itu.
“Di koloni, politik represif itu sanggup dilancarkan tanpa kritik dan tantangan yang berarti dari pemerintah kolonial,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan s3kualitas,” Prisma, Juli 1991.

Aksi Polisi Susila kemudian terkesan berkaitan dengan persaingan dan perebutan kekuasaan. Mulanya aksi itu menyasar pejabat-pejabat tinggi atau anggota partai-partai politik. Berawal dari desas-desus lalu ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung dugaan itu.  
Ditambah lagi aliran masyarakat umum yang memandang homosecualitas sebagai kelemahan dan kelembekan huruf laki-laki. Maka, laki-laki homosecual dianggap tak layak diberi iktikad untuk mengemban kiprah memimpin masyarakat di zaman yang penuh ketidakpastian ketika itu.
Dari kurun waktu kemunculannya, gerakan antihomosecual di Hindia Belanda dan Jerman seolah muncul saling bersambungan. Di Jerman, homosecual menjadi musuh negara. Perburuannya semenjak 1936 menjadi kebijakan resmi negara.


Sumber http://penulissnazzily.blogspot.com


EmoticonEmoticon