Saturday, February 10, 2018

√ Seni Administrasi Fox Kuasai Indonesia

Tags

Taktik Fox Kuasai Indonesia

Untuk kepentingan Republik, pemerintah memperlihatkan monopoli dagang kepada seorang taipan film Amerika.

19 October 2011

 pemerintah memperlihatkan monopoli dagang kepada seorang taipan film Amerika √ Taktik Fox Kuasai Indonesia
 pemerintah memperlihatkan monopoli dagang kepada seorang taipan film Amerika √ Taktik Fox Kuasai Indonesia Matthew Fox dan Sumitro Djojohadikusumo.
PADA 1947, Perdana Menteri Sjahrir meminta Sumitro Djojohadikusumo berangkat ke Amerika Serikat untuk menyiapkan jalan biar sengketa Indonesia-Belanda masuk dalam kegiatan Dewan Keamanan PBB. Sumitro tak punya paspor, apalagi uang. Dia menembus blokade Belanda menuju Singapura dan meyakinkan Konsulat AS di sana untuk memperlihatkan visa. Dia juga mengatur penyelundupan kapuk dan kina untuk membiayai perjalanannya.
Satu kapal Amerika yang berusaha mematahkan blokade disita Belanda. Satu kapal lainnya berhasil membawa muatan ke New York tapi para bankir tak mau membayar $80.000 atas pengiriman barang-barang itu. Padahal, setiba di New York, Sumitro tak punya kontak dan uang tunai –hanya $20 di kantong.
Sumitro pun melibatkan firma aturan Delson, Levin, and Gordon di New York tanpa bayaran, yang kemudian menyerahkannya pada pengacara-pelobi Washington, Joseph Borkin –juga sebab tertarik pada perkara itu dan tanpa kompensasi. Borkin kemudian menghubungi Matthew Fox, taipan film Amerika yang jadi wakil administrator Universal Pictures.
Sumitro dan Fox kesannya bertemu dan sepertinya cocok, terlebih saat Sumitro bilang ingin menjalin korelasi ekonomi. Sumitro terkesan dengan Fox, dan sebagaimana dikutip Theodore Friend, Indonesian Destinies, menyebut, “Dia jenius… beliau mempunyai ketertarikan politik. Dia melihat potensi komersial. Dia bilang, ‘Lihat, sobat, kita butuh sebuah jalan untuk mengontak para pemodal besar. Ini akan menyerupai monopoli saya. Tapi saya takkan menciptakan Anda bertanggungjawab atas kontrak itu.”

Fox memperlihatkan deposito kredit sebesar $80.000 atas jaminannya. Atas pinjaman Fox pula, perwakilan Indonesia menerima kantor di 40 Wall Street, New York, sempurna di jantung distrik bisnis. Dan yang terpenting, keduanya menandatangani sebuah kontrak –lebih dikenal dengan istilah Fox-contract– pada 3 Januari 1948. Isi perjanjian menyebutkan pembentukan American-Indonesian Corporation (AIC), dengan kantor sentra di New York, yang akan melaksanakan penjualan komoditas Republik di Amerika dan sebaliknya pembelian aneka macam barang konsumsi di Amerika untuk Republik.
“Fox terlibat dalam pertaruhan besar, yang tak seorang pun mau mengambilnya,” ujar Sumitro.
Menurut Sumitro, perjanjian bisnis tersebut tak hanya bakal menguntungkan Fox dan mitra-mitranya tapi juga Republik, sebab bakal mengisi kocek pemerintah di Yogyakarta dengan aset valuta abnormal berharga berupa dolar Amerika. Selain itu, akan memperlemah kedudukan ekonomi Belanda, dan otomatis politik, di Indonesia. Sumitro menaksir harga barang-barang yang diimpor dan diekspor antara kedua negeri itu akan mencapai 200 juta dolar setahun. Kontrak itu telah diratifisir oleh Badan Pekerja KNIP.
“Kami membutuhkan modal dan keahlian AS… kami suka Matty,” ujar Soemitro menyerupai dikutip Time, 19 Juli 1948. Matty atau Mattie ialah nama kecil Matthew Fox.
Pemerintah Belanda bukannya tak tahu adanya kontrak tersebut namun memutuskan untuk tak mengungkapkan kepada publik. Duta Besar Belanda di Washington, E. van Kleffens, khawatir pengungkapan hanya akan dieksploitasi Uni Soviet, yang dengan cepat mencap kontrak itu sebagai plot kapitalis Amerika untuk mengontrol dan merusak perekonomian Indonesia. Ketika isu ini mengemuka, van Kleffens kesannya bertemu dengan Fox pada 14 Juni 1948. Fox juga bersedia pergi ke Den Haag untuk bernegosiasi dengan para pejabat di sana –pertemuan yang tak pernah terjadi.

Pemerintah Belanda terperinci kebakaran jenggot dengan kontrak itu. Mereka menganggap kontrak itu bukan kontrak dagang biasa melainkan perluasan perdagangan dengan hak-hak monopoli. Opini publik di Belanda umumnya menyimpulkan bahwa Washington dan Wall Street merestui AIC. “Tujuan utama Amerika, mereka berpendapat, ialah mendorong kepentingan ekonomi Belanda keluar dari Indonesia kemudian diganti oleh Wall Street,” tulis tulis Gerlof D. Roman dalam “American Business Interests In The Indonesian Republic, 1946-1949”.
Komentar Van Mook lebih keras lagi. “Kontrak ini merupakan bukti terperinci bagaimana orang-orang luar negeri yang tidak berperikemanusiaan itu menyalahgunakan kedudukan Republik yang lemah dan terpojok akhir kurang dana, pengetahuan ekonomi, dan pengalaman, untuk merampok negeri ini,” ujar van Mook sebagaimana dikutip K.M.L. Tobing dalam Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Renville. “Di atas segalanya, Republik masih harus mengorbankan kedaulatannya dengan menaklukan diri pada yuridiksi hakim-hakim dan komisi arbitrasi Amerika.”
Sejatinya, Departemen Luar Negeri AS terganggu dengan kontrak Fox dan mencoba mencegahnya. Mereka mengundang Fox dan menyampaikan bahwa beliau merusakan kebijakan luar negeri Amerika. Perdagangan Amerika-Republik itu akan mengurangi kedaulatan Belanda dan mengganggu perundingan yang lagi berjalan antara Belanda dan Yogyakarta. Selain itu, mereka menekankan huruf monopolistik dalam kontrak itu. Disebutkan pula bahwa seluruh perdagangan ke dan dari Indonesia harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan Belanda. Mereka pun menarik paspornya sehingga Fox tak bisa melaksanakan perjalanan yang sudah beliau rencanakan ke Indonesia.

Fox bergeming dan tak memperlihatkan impian untuk membatalkan kontrak. Dia menyampaikan tak akan meninggalkan kawan-kawannya di Republik. Bahkan, sehabis kegagalan perjalanan bisnis ke Indonesia sebagai perwakilan Meyer and Brown, sebuah perusahaan Amerika di mana Fox punya efek cukup besar, untuk membeli komoditas untuk US Army-Navy Munitions Board, beliau tetap optimis.
Departemen Luar Negeri memberitahu Republik mengenai perilaku Washington. Mereka juga bertemu dengan Sumitro dan menyampaikan bahwa kontrak itu melanggar Piagam Perjanjian Perdagangan Internasional dan Perjanjian Renville. Sumitro membela kontrak itu dengan menyampaikan bahwa pemerintahnya tak percaya pada Belanda.
Para pejabat Republik membantah indikasi monopoli dalam kontrak itu. Mereka bilang kontrak serupa bisa dilakukan dengan pedagang Belanda atau swasta lainnya. Bagaimana kalau Belanda keberatan? “Kita tak tergantung kepada perilaku Belanda. Republik kini dalam konflik dengan Belanda. Perdagangan pun harus dilakukan dalam suasana konflik pula,” ujar A.K. Gani, sebagaimana dikutip Kronik Revolusi Indonesia, volume 4, karya Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil.

Fox sendiri ingin menghilangkan kecurigaan bahwa beliau hanya ingin meraih laba melalui monopoli. Kontrak ini, kata Fox menyerupai dikutip Time, 19 Juli 1948, hanya menghipnotis sekira 25 persen dari total perdagangan Republik ($450 juta pada 1940) dan pihak swasta di Indonesia bebas berafiliasi dengan siapa pun yang mereka inginkan. Dia juga mempersilakan kompetitor lain, terutama dari AS.
Sejumlah kontrak terkait dengan Fox juga dilakukan pemerintah daerah. Pada Agustus 1948, menyerupai ditulis Mestika Zed dalam Kepialangan, Politik dan Revolusi, Gubernur Isa menandatangani kontrak dagang dengan Fox untuk mengapalkan lada dari Lampung.
Meski Fox bertahan menghadapi rintangan, blokade Belanda dan ketidaksetujuan Departemen Luar Negeri AS menciptakan langkah AIC tersendat, bahkan memperlihatkan gejala takkan terlaksana. Setelah aksi militer II pada Desember 1948, Fox mempunyai sedikit kans untuk memetik untung. “Dia juga tak bisa menarik modal di luar Amerika. Modal apapun yang diinvestasikan dalam perjuangan itu harus diambil dari miliknya sendiri dan mungkin tak pernah kembali,” tulis Gerlof D. Roman.
Sulit memilih berapa banyak Fox berinvestasi. Mungkin sekira $550.000 diberikan atau “dipinjamkan” kepada Republik, banyak yang dipakai untuk membiayai misi PBB Indonesia di New York. Selain itu, Fox menghabiskan sekira $215.000 untuk membentuk apa yang disebut dana propaganda dan mengeluarkan $140.000 untuk dua pesawat bekas C-54.

Pada awal 1949 Fox menyatakan impian untuk mundur dari AIC dan membatalkan kontrak. Pada Maret 1950, tak usang sehabis Republik memperoleh pengukuhan kedaulatan, pemerintah Indonesia membatalkan kontrak dan Fox menyatakan tidak menyesal sekalipun beliau tak meraih keuntungan. Toh, dengan cara lebih halus dan tak langsung, Kontrak Fox membantu maksud Republik.
“Dengan kontrak Fox, Republik mencapai dua tujuan. Mempermalukan dan menakut-nakuti pemerintah Belanda, yang khawatir pengaruh seorang pengusaha terhormat menyerupai Fox yang mencoba dan berhasil menerobos blokade Belanda. Selain itu, Republik, sementara menghindari Washington, membentuk kontak berharga dengan dunia bisnis Amerika yang terhormat. Sehingga efek Republik di dunia internasional meningkat,” tulis Gerlof D. Roman.
Dan toh orang Indonesia menyerupai Sumitro menyukainya, dan kemudian masih memperlihatkan kesempatan bagi Fox untuk berbisnis di Indonesia.



Sumber http://penulissnazzily.blogspot.com


EmoticonEmoticon